Dari Sopan Santun ke Sensitivitas Budaya: Etika Baru Komunikasi

Selasa, 1 Juli 2025 10:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kiprah relawan taman bacaan
Iklan

Dalam berkomunikasi, sopan santun saja tidak cukup. sensitivitas budaya sangat penting untuk menghargai perbedaan serta menghindari konflik.

Oleh: Revalia Puji Lestari 

Indonesia dibangun dari perbedaan: suku, bahasa, agama, dan adat istiadat. Tapi hari ini, perbedaan itu bukan hanya kita temui dalam interaksi antardaerah, melainkan juga hadir serentak dalam ruang-ruang yang makin padat dan tak lagi memiliki batas — kota besar dan media sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaannya: apakah kita sudah cukup etis dalam berkomunikasi lintas budaya?

Di Jakarta, misalnya, orang Batak, Bugis, Sunda, dan Papua bisa tinggal dalam satu kompleks. Di media sosial, logat orang Jawa, gaya berpakaian orang Bali, hingga ritual adat masyarakat adat bisa viral dan dijadikan konten dalam hitungan detik. Sayangnya, di balik semua itu, masih banyak kekeliruan dalam memahami batas antara “mengapresiasi” dan “mengeksploitasi”.

Banyak orang belum sadar bahwa bercanda soal logat daerah bisa melukai. Bahwa memotong video ritual adat untuk dijadikan lucu-lucuan tanpa izin adalah bentuk perendahan. Dan bahwa komentar seperti “kalau orang timur pasti keras” bisa memperkuat stereotip diskriminatif yang sudah menahun.

Kita butuh etika baru: etika komunikasi yang adaptif di era digital dan multikultural. Bukan lagi etika yang hanya mengajarkan sopan santun formal, tapi etika yang mengajak kita untuk peka budaya, rendah hati secara sosial, dan sadar akan kekuasaan simbolik dalam komunikasi.

Etika ini tidak harus berat. Ia bisa diajarkan sejak di bangku sekolah, disampaikan lewat konten kreatif, atau dilatih dalam ruang publik digital kita. Kita bisa mulai dari hal sederhana: berhenti menertawakan logat orang lain, bertanya dulu sebelum merekam atau mengunggah budaya yang bukan milik kita, dan belajar untuk tidak merasa superior hanya karena kita berasal dari budaya yang dominan.

Indonesia tidak hanya membutuhkan generasi yang melek teknologi, tetapi juga generasi yang melek etika dan empati. Di tengah derasnya arus informasi dan kecepatan interaksi digital, kemampuan untuk menimbang dampak sosial-budaya dari setiap tindakan komunikasi menjadi semakin penting. Bukan hanya soal apa yang kita katakan, tetapi bagaimana, kepada siapa, dan dalam konteks apa hal itu disampaikan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Revalia Puji Lestari

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler